Lingkungan Indonesia, secara geografis, geologis, dan klimatologis ternyata memberikan potensi kejadian bencana dengan peluang yang tinggi. Bahaya gempa bumi, cuaca ekstrim, dikombinasikan dengan daerah yang bergunung dan berbukit adalah gambaran potensi bahaya (hazard) yang tinggi. Sementara di pihak lain ternyata selain bahaya yang besar juga kerentanan (vulnerability) yang ada pada wilayah Indonesia juga tinggi. Dari berbagai sumber bahaya, pembicaraan kali ini akan dibatasi pada bahaya gempa bumi saja.

Berbicara mengenai mitigasi, di awal harus dipahami terlebih dahulu megenai beberapa istilah yang akan sering mucul. Bencana akan melibatkan dua hal, pertama adalah adanya bahaya/ancaman (hazard) dan berikutnya adalah adanya kerentanan (vulnerability).

Bahaya adalah kondisi yang berpeluang memberikan resiko bencana yang berasal dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau membahayakan. Wilayah Indonesia yang rawan mengalami kejadian gempa akan termasuk wilayah dengan bahaya/ancaman (kadang disebut dengan resiko) gempa yang tinggi.

Di sisi lain, kondisi bangunan, terutama bangunan rumah tinggal tembokan sederhana, yang dibangun tidak dengan mengikuti kaidah teknis bangunan agar lebih aman selama mengalami kejadian gempa, akan menentukan kondisi dari kerentanan (vulnerability).

Bagi para penggiat mitigasi, resiko bencana biasanya diformulasikan dalam persamaan R= (H*V)/C, dimana R = risk/resiko bencana; H = hazard/ancaman; V = vulnerability/kerentanan; C = capacity/kapasitas mitigasi.R akan berbanding lurus dengan C dan H, dan berbanding terbalik dengan C.

Hubungan di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa resiko bencana akan meningkat bila tingkat bahaya (hazard) juga tinggi, resiko bencana juga akan meningkat bila tingkat kerentanan (vulnerability) juga tinggi. Resiko bencana bisa diturunkan bila kapasitas mitigasi (ketahanan, kesiap-siagaan) bencana dari masyarakat meningkat.

Untuk persoalan terkait dengan gempa bumi, sampai saat ini, kemampuan manusia melalui ilmu dan teknologinya belum mengurangi tingkat hazard dari gempa bumi. Sejauh ini belum ditemukan misalnya metode untuk mengetahui kapan, dimana, dan besaran/magnitude gempa dengan akurasi yang bisa diterima secara ilmiah. Atau lebih jauh, ilmu dan pengetahuan manusia belum mampu untuk bisa melepaskan energi gempa tanpa memberikan dampak goncangan di permukaan bumi yang membahayakan.

Maka untuk mengurangi resiko bencana, saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sederhan dan bukan pekerjaan yang mudah, karena melibatkan aspek sosial, budaya, dan teknis secara simultan.

Aspek sosial yang harus dikerjakan adalah membangun kesadaran bahwa wilayah Indonesia dimana kita  tinggal adalah wilayah dengan ancaman gempa yang tinggi. Sadar dengan kondisi lingkungan akan membuat kita lebih waspada dengan resiko yang dihadapi. Dengan kesadaran yang baik akan mempermudah  usaha-usaha untuk meningkatkan kewaspadaan akan resiko bencana.

Terkait dengan aspek teknis, sekarang ini ada tantangan besar yang harus dihadapi untuk menurunkan tingkat kerentanan terutama dari bangunan tembokan sederhana. Kondisi tersebut adalah banyaknya rumah tinggal tembokan sederhana yang dibangun tidak sesuai dengan persyaratan agar bangunan lebih aman menghadapi kejadian gempa.

Penulis memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di bangunan rumah tembokan sederhana jumlahnya mencapai 60-70% dari total jumlah penduduk. Jika bangunan tembokan sederhana tersebut tidak memenui standar teknis keamanan terhadap gempa, maka artinya tingkat kerentanan kejadian bencana menjadi sangat tinggi.

Pengertian bangunan tembokan sederhana adalah bangunan yang dalam proses perencanaan maupun pembangunannya tidak melibatkan ahli teknis bangunan, namun hanya melibatkan tenaga tukang yang tidak terlatih. Proses perencanaan dilakukan dengan cara yang sederhana, dan proses pembangunannya hanya mendasarkan kepada kebiasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tukan tanpa didasarai pertimbangan-pertimbangan teknis yang baik.

Untuk meningkatkan kesadaran mitigasi bencana -terutama diakibatkan kejadian gempa- ada dua pekerjaan besar yang harus dilaksanakan. Pertama adalah memberikan pemahaman dan pelatihan kepada para pelaksana pembangunan rumah tembokan sederhana (developer, tukang) agar mampu membangun bangunan rumah yang lebih aman dalam menghadapi kejadian gempa. Pada lingkup ini diperlukan pula semacam panduan praktis yang bisa diikuti oleh tukang sehingga bisa menjadi panduan di lapangan.

Pada saat ini sudah tesedia panduan praktis membangun rumah tembokan yang disusun oleh para penggiat mitigasi bencana, dan diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan bantuan dari JICA. Buku panduan praktis tersebut bisa diperbanyak, tidak untuk diperjualbelikan dengan catatan tidak boleh mengubah atau menambah gambar-gambar yang ada pada buku panduan tersebut (tautan buku panduan ada disini dan disini).

Yang kedua, adalah perlunya memperkuat (strengthening) bangunan tembokan sederhana yang sudah terbangun namun belum memenuhi persyaratan teknis bangunan sederhana yang lebih aman menghadapi gempa. Kegiatan  ini kadang pula disebut dengan istilah retrofitting (repair, restore, strengthening). Saat ini sebenarnya sudah ada pedoman retrofitting, yang diterbitkan oleh beberapa pakar bangunan. Selanjutnya buku-buku panduan yang sudah ada disempurnakan dengan memasukkan best practices dari para pakar.

Berikutnya selain aspek teknis, harus pula digiatkan aspek non teknis yang harus dikerjakan, yaitu sosialisasi dan pelatihan hala-hal yang sudah termuat pada buku-buku petnjuk praktis tersebut. Juga harus ditingkatkan pelatihan evakuasi, penyusuan skenario evakuasi dan penanganan pada saat terjadi gempa. Model sosialisasi dan pelatihan dengan melibatkan organisasi formal maupun nonformal harus digalakkan dengan pengarahan atau bimbingan dari para ahli yang kompeten.

Usaha mitigasi yang efektif antara lain dapat dilakukan dengan mengintegrasikan program-program mitigasi dengan dunia pendidikan. Mungkin tidak harus dengan memasukkannya ke dalam kurikulum, namun bisa menjadi kegiatan ekstra kurikuler. Pelatihan mitigasi bencana harus dimulai sejak dini kepada peserta didik, sehingga mtigasi bencana akan menjadi bagian kehidupannya.

Ketiga hal tersebut, -sosialisasi dan pelatihan pembangunan dan perkuatan, penyusunan skenario penanggulangan dan penanganan pada saat gempa, serta pendidikan mitigasi bencana, masih menjadi titik lemah pada usaha peningkatan kapasitas mitigasi bencana. Semua elemen masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi ketiga hal tersebut sudah selayaknya memberikan kontribusinya sehigga kapasitas mitigasi bencana dapat senantiasa ditingkatkan. Dunia pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi memegang peranan yang vital dalam usaha ini, sehingga sudah semestinya dunia pendidikan memberikan perhatian yang lebih banyak.
**