saputra on September 3rd, 2014

Oktober 2004 sampai dengan Februari 2008, saya menempuh studi lanjut di Thailand dan Jepang. Maka pada periode itu tidak ada jejak karya ketekniksipaln yang bisa saya tuangkan. Praktis pada masa itu saya hanya berkutat dengan kuliah dan penelitian disertasi s3 saya.

Sepulang dari studi lanjut, saya menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) KKN UGM periode antar semester 2008/2009. Lokasinya ada di Desa Girikerto, Turi, Sleman. Program utama yang diangkat pada kegiatan itu adalah membuat instalasi pengolahan air untuk menurunkan kadar Fe dari mata air yang ada. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mata air yang berada di kaki Gunung Merapi akan banyak mengandung kadar Fe, dan bila jumlahnya melebihi ambang batas maka mejadi tidak aman untuk dikonsumsi. Padahal, pada musim kemarau, warga masyarakat biasanya mengandalkan sumer mata air untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga.

Program KKN selanjuntnya membuat instalasi aerator dan saringan pasir cepat. Setelah instalasi dibangun, kadar Fe pada air dari sumber mata air dicek dan ternyata kadar Fe-nya turun. Artinya pembuatan isntalasi pengolah air berhasil. Setelah air dilewatkan instalasi pengolah, seanjutnya disalurkan ke hiduran umum dengan pipa sumbangan dari Satker Pengairan SNVT PU. Berikut adalah gambar-gambar instalasi kincir aerator dan saringan pasir cepat serta sebagian anggota KKN.

Pada tahun 2014, saya dapat informasi bahwa instalasi kincir aeratornya sudah rusak terkena banjir. Namun jaringan pipa dan hidran umum yang kami bangun saat itu masih bisa berfungsi dengan baik. Ternyata warga belum mampu (atau tidak mampu) membuat kincir aerator sendiri walaupun sesungguhnya cukup sederhana. Sebagai catatan, mestinya alih teknologi itu bisa diberikan ke masyarakat sehingga proses perawatan dan perbaikan bisa dikerjakan oleh masyarakat sendiri.

saputra on September 3rd, 2014

Pasar Ikan Higienis Yogyakarta adalah bangunan kedua yang saya hitung strukturnya. Bangunan ini juga biasa saja, baerupa bangunan beton dan dinding pasangan batu satu lantai. Atapnya menggunakan rangka baja dari pipa. Yang cukup menantang secara struktural adalah menara tandon air yang menampung sekitar 20 mete kubik air pada ketinggian sekitar 15 meter. Pasar ikan ini dibangun pada tahun 2004.

 

http://3.bp.blogspot.com/_RGdko3ra5uk/TLBowyPwMaI/AAAAAAAAAA8/r5n7Z9_P0Z4/s1600/pasar_ikan_higienies03.jpg

Pada masa pelaksanaanya, ada kekeliaruan dari drafter yang menggambar fondasi telapak menara terbuat dari pasangan batu kali. Padahal seharusnya pasangan batu kali adalah fondasi sumuran bertulang (caisson), lalu di atasnya ada blok massa beton bertulang setebal sekitar 70 cm sebagai perata beban menara dan sekaligus memberikan massa yang cukup besar di bawah menara. Akhirnya pada masa pelaksanaan disepakati perbaikan gambar dan kontrkator membangun menara airnya sesuai yang dengan yang saya rencanakan.

Sehari setelah gempa Jogja di tahun 2006, saya juga sempatkan untuk menengok bangunan ini. Meskipun hanya melihat dari luar pagar, saya lega karena menara penampung air masih berdiri dengan kokoh. Seperti sudah diketahui, menara dengan massa di atas adalah struktur yang riskan mengalami kerusakan pada saat terjadi gempa.

Bagi perencana struktur pemula, perhitungan struktur menara air benar-benar membaut saya harus berpikir keras. Untuk meyakinkan bahwa hitungan saya bisa diterima, saya harus berkeliling melihat-lihat struktur menara air yang ada di sekitar Jogja, dan menara air dengan volume tampungan dan ketinggian yang mirip akan saya jadikan acuan. Ya biar jadi pembanding, karean belum berpengalaman. Setelah dibanding-bandingkan, terutama dimensi kolomnya, saya cukup yakin hitungan saya cukup aman.

Semoga bangunan Psar Ikan tersebut bisa berdiri dan berfungsi dengan baik pada waktu yang lama. Amiin.

saputra on September 3rd, 2014

http://hardivizon.com/wp-content/uploads/2014/07/masjid-07-430×247.jpg

Musola Pascasarjana UGM adalah bangunan yang pertama kali saya hitung struktur betonnya. Kelihatannya bangunannya tidak terlalu besar, namun bagi saya itu adalah tantangan pertama sebagai seorang sarjana teknik sipil. Bangunan musola dibangun pada tahun 2003, pada saat itu seingat saya ketua Pascasarjana UGM adalah Prof. Mursyidi.

Struktur Musola Pascasarjana UGM memberikan tantangan berupa bentang yang cukup panjang agar bisa berada di atas danau kecil di sisi timur Gedung Pascasarjana UGM. Bentang balok yang menyangga lantai musola sekitar 12 meter, dengan beban mati plat lantai beton 15 cm dan urugan pasir setinggi 15 cm. Sepertinya tidak ada yang terlalu istimewa, namun bagi saya waktu itu, ini adalah pekerjaan pertama yang harus saya desain elemen-elemen strukturnya.

 

Alhamdulillah bangunan itu masih berdiri dengan baik sampai saat ini. Pada saat terjadi Gempa Yogyakarta ahun 2006, saya langsung mendatangi bangunan tersebut untuk melihat apakah ada kerusakan yang terjadi pada bangunan akibat getaran gempa. Alhamdulillah, bangunan musola tetap utuh, tidak dijumpai adanya kerusakan pada strukturnya. So far, hitungan struktur beton yang saya lakukan cukup aman, bahkan kalau mau diteliti lebih lanjut mungkin berlebihan. Namun bagi saya saat itu lebih baik berlebihan tapi aman daripada mengutamakan efesiensi namun angka keamanannya kecil. Maklum, masih pemula saat itu.

Semoga bangunan Musola Pascaragana UGM bisa berdiri dengan baik sampai waktu yang lama dan bisa berfungsi sebagai tempat solat bagi civitas akademika Pascasarjana UGM. Amiin.

saputra on April 7th, 2013

Saat ini sedang dilaksanakan pembangunan jalan layang (fly over) pada simpang Jalan Magelang-Ring road utara Yogyakarta. Pada saat tulisan ini dibuat, proses pembangunan sudah menyelesaikan tahapan jalan layang arah barat-timur. Pada tahap selanjutnya akan dikerjakan bagian jalan layang dari timur ke utara. Dari informasi yang bisa diperoleh, pekerjaan ini direncanakan sebagai pekerjaan tahun jamak dan direncanakan akan diselesaikan pada tahun 2014.

Jalan layang tersebut dibuat dari beton bertulang prategang dengan tipe struktur box girder. Struktur ini dipilih karena akan mampu memberikan kestabilan yang baik pada struktur jembatan terutama untuk menahan torsi. Persoalan yang ingi dikritisi pada tulisan ini adalah pemilihan metode pelaksanaanya yaitu metode pengecoran ditempat (cast in site).

Sudah menjadi pemahaman yang umum di kalangan insinyur sipil bahwa beton memerlukan usia sekitar 28 hari untuk mencapai kekuatan rencananya. Sebelum mencapai kuat rencananya, beton tidak mampu mendukung beban-beban termasuk beban dari beratnya sendiri. Untuk itu pada kondisi seperti itu beton harus ditopang dalam cetakannya. Setelah beton mempunyai kekuatan dan bisa bekerja secara kompsit dengan tulangan atau kabel baja prategang, cetakan dan penopang (perancah) akan dibongkar.

Dengan pemilihan metode pelaksanaan pengeceroan di tempat, maka untuk kasus jembatan layang persimpangan, adanya banyak penopang selama beton belum mempunyai kekuatan yang cukup akan menghambat arus lalu-lintas. Simpang Jalan Magelang-Ring Road utara Yogyakarta menampung arus lalu lintas yang sehari-hari sangat padat sehingga adanya gangguan arus pada akhirnya mengakibatkan kemacetan. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengurangi kemacetan antara lain adanya himbauan untuk tidak melintasi simpang tersebut dan membuat pengalihan jalur. Pada kedua usaha ini ternyata pengguna jalan yang harus berkorban dengan menyediakan waktu tempuh yang semakin lama dan bahan bakar yang lebih banyak dikonsumsi kendaraanya. Jika diakumulasikan, ongkos tambahan dan biaya sosial yang harus ditanggung oleh pengguna jalan akan sangat besar.

Sesungguhnya masih terdapat alternatif dalam pembangunan jalan layang tersbut dengan tidak mengorbankan pengguna jalan secara berlebihan. Alternatif tersebut antara lain adalah menggunakan metode box girder beton pracetak sehingga beton sudah mempunyai kekuatan yang cukup untuk segera dikompositkan dengan kabel prategang. Dengan tidak adanya penopang, atau seandainya ada pun akan tidak terlalu lama, sehingga gangguan terhadap arus lalu lintas bisa dikurangi.

Alternatif kedua adalah menggunakan struktur box girder dari baja. Struktur ini jauh lebih ringan dari struktur baja namun memiliki kekuatan dan kestabilan yang sangat baik. Pemilihan menggunakan box girder dari baja akan jauh mempercepat masa pelaksanaan karena struktur akan lebih ringan sehingga lebih mudah dalam handling dan instalasinya.

Pemilihan struktur box girder pracetak-prategang beton atau box girder baja belum tentu lebih mahal dibandingkan dengan metode beton cor di tempat. Walaupun dari komponen biaya material lebih mahal dibandingkan beton pracetak-prategang dan baja, namun dari sisi waktu pelaksanaan yang lebih singkat juga akan mengurangi biaya dari komponen tenaga kerjanya. Lebih dari itu, biaya tambahan dari pengguna dan ongkos sosialnya akan jauh lebih rendah.

Sebagai akhir catatan, penulis belum bisa memberikan analisis mengapa pilihan beton cor setempat dipilih oleh Pengelola Proyek pada pembangunan simpang yang arus lalu lintasnya sangat tinggi tersebut.

 

Salam.

 

saputra on April 7th, 2013

Mengacu kepada keterangan dari http://www.gamamulti.com/our-business/gama-book-store.html, PT Gama Book Store (GBS) didirikan sebagai wujud perhatian dan kepedulian UGM terhadap kebutuhan fasilitas penunjang pendidikan bagi civitas akademika. Pembangunan Gama Book Store dimulai pada sekitar akhir 2006. Terlepas dari tujuan dan pembiayaannya, sampai dengan bulan April 2013 bangunan tersebut belum berfungsi meskipun secara fisik bangunan sudah selesai beberapa tahun sebelumnya. Sebagai informasi pelengkap, bangunan Gedung Gama Book Store berada di sisi timur Jalan Kaliurang km 4, tepatnya sebelah utara kantor Bank BNI Cabang UGM. Foto bangunan tersebut bisa dilihat di http://anginbiru.wordpress.com/2011/03/07/gama-book-store-ugm-jl-kaliurang/

Informasi yang dapat diperoleh mengenai belum beroperasinya fasilitas tersebut terkait dengan dua hal. Pertama adalah adanya persoalan hukum antara pihak kampus dengan investor yang berlarut-larut. Dari laman http://ugm.ac.id/ugm/id/news/6584-ugm.won.appeal.against.pt.neocelindo dapat dilihat bahwa UGM memenangkan kasus gugatan dari investor PT Neocelindo yang menuntut UGM membayar kerugian sebesar 94,7 miliar rupiah. Persoalan kedua, dan ini juga masih terkait yang pertama, bangunan Gama Book Store tidak bisa mendapat IMB dari pemerintah daerah setempat karena tidak memenuhi persyaratan adminstratif dan teknis, yang di antaranya adalah terkait dengan jarak bangunan dari Jalan Kaliurang. Pernah ada informasi (yang harus dicek kebenarannya lebih lanjut), menyebutkan bahwa proses pengurusan IMB menjadi bagian dari tanggung jawab investor, sementara investor mengatakan bahwa tanggung jawab pengurusan IMB juga menjadi tanggung jawab UGM dan perjanjian pembangunan disepakati untuk dimulai meskipun IMB belum diterbitkan.

Pertanyaanya yang bisa diajukan, mengapa proses pembangunan bisa dimulai (entah pihak mana yang memberikan ijin memulai) jika IMB belum diperoleh? Atau setidaknya walaupun IMB belum diterbitkan namun sudah ada bukti yang bisa dijadian pegangan secara sah bahwa rencana pembangunan gedung tersebut tiak melanggar peraturan sehingga tidak ada kendala dalam proses perijinannya? Mengapa tim perencana tidak berkonsultasi ke pihak pemberi IMB dalam hal ini adalah pemerintah daerah Sleman dan DIY?

Jika proses perencanaan dilaksanakan dengan baik, artinya tim perencana mempertimbangkan peraturan untuk mendapatkan IMB, dan akan lebih baik jika berkonsultasi dengan pihak-pihak yang berwenang menerbitkan IMB, maka ada dua kemunginan yang saat ini bisa terjadi. Kemungkinan pertama, tidak akan ada bangunan Gama Book Store karena tidak jadi dibangun, lalu kemungkinan kedua adalah saat ini (April 2013) bangunan Gama Book Store sudah bisa berfungsi.

Secara nyata telah terjadi kerugian dari semua pihak, dalam hal ini adalah investor dan UGM karena bangunan yang secara fisik sudah berdiri namun tidak bisa memberikan kemanfaatan. UGM merugi karean tidak bisa memanfaatkan asetnya, sementara investor merugi karena sudah mengeluarkan biaya untuk pembangunan gedung. Karena analisis yang dilakukan tidak dititikberatkan pada persoalan hukum, siapa pihak yang lebih bersalah tidak dibicarakan dalam tulisan ini. Sebagai akhir dari catatan kecil ini, dapat disimpulkan telah terjadi kegagalan perencanaan karena tidak menghasilkan produk perencanaan yang sesuai dengan peraturan untuk mendapatkan IMB. Pelajaran yang bisa diambil dari permoasalah Gedung Gama Book Store menurut penulis antara lain;

  1. Dalam proses perencanaan, tidak hanya aspek teknis saja yang diutamakan, namun aspek-aspek non teknis juga harus diperhatikan karena bisa jadi aspek non teknis juga menentukan keberhasilan pembangunan.
  2. Membangunan komunikasi yang efektif antara berbagai pihak dalam proses perencanaan adalah ketrampilan dasar yang harus dipunyai oleh semua orang yang terlibat dalam proses perencanaan.
  3. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada asumsi yang tidak valid bisa menimbulkan kekeliruan dan kerugian yang fatal.

Semoga catatan kecil ini bisa mengingatkan penulis untuk mengingat pelajaran yang diambil dari kasus ini.

Salam,

Yogyakarta, 7 April 2013

 

 

saputra on December 21st, 2012

Salam,

Untuk kesekian kalinya saya mengunjungi Palangkaraya. Jadwal dan rute penerbangan tidak banyak memberik pilihan kepada saya sehingga 80% perjalanan menggunakan budget airline. Namun dengan menggunakan penerbangan budget air justru saya bisa mengamati Indonesia dari orang-oranga yang bepergian.

Penerbangan terakhir dari Palangkaraya menuju Jakarta memberikan peristiwa menarik. Saya duduk di seat 21 F di emergency seat favorite saya. Di sebelah saya (21E) duduk seorang pria usia 40-an tahun, sementara di 21D dan 21 C dua orang asing. Pada saat pertama datang, pria di sebelah saya salah ambil tempat duduk di depannya, dan bagi saya cukup wajar mengingat beberapa kali saya sendiri keliru menempati tempat duduk. Setelah ada penumpuang yang nomernya tepat datang, pria yang seharusnya duduk di sebelah saya mengecek kemabli nomornya dan tahu dia sudah salah duduk.

Setelah pria itu duduk di sebelah saya, beberapa saat kemudian saya menyadari kalau dia bertelanjang kaki. Benar-benar nyeker, sendal jepit pun tidak. Selama di pesawat, mungkin karena kedinginan, dia mengangkat kakinya yang nyeker itu ke atas tempat duduk. Sebuah pengalaman yang baru pertama kali saya jumpai.

Keitka antri untuk turun pesawat, saya berdiri di depan kedua orang asing itu dan kembali saya nguping pembicaraan mereka dalam bahasa Inggris. Penumpang yang duduk di 21D berkata kepada penumpang 21C, bahwa orang di sebelahnya tidak memakai alas kaki sama sekali, dan dia sangat heran. “What happen with him?”, sepotong kebingunan mereka tertangkap di kepala saya.

Pertanyaan yang sama sesungguhnya juga berkecamuk di kepala saya selama penerbangan dan itulah yang membuat saya tertarik menuangkan di sini. Selama perjalanan, saya mengira-ira di adalah pekerja bangunan yang akan beerlibur kembali ke Jawa setelah sekian lama merantau di kalimantan. Selepas 20 Desember memang pekerjaan konstruksi sudah banyak yang berhenti, untuk kemudian akan bergeliat kembali di awal tahun.

Kebingunan orang asing yang melihat fenomena itu memicu saya berpikir lebih lanjut, sesungguhnya pria itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Setahu saya tidak ada keharusan naik pesawat harus beralas kaki. Saya bahkan ingat ada sekelompok orang yang fanatik untuk ber-barefoot dalam keseharian mereka. Saya yakin tidak ada yang salah dengan seseorang naik pesawat tidak beralas kaki.

Saya jadi ingat penerbangan sebelumnya dan saya duduk di emergency seat 31E yang berhadapan dengan tempat duduk pramugari.  Dalam penerbangan malam itu pramugari pria bercerita pengalamannya menjumpai banyak penumpang “aneh” yang naik pesawat. Saya tanya anehnya bagaimana? Pramugari tersebut mengatakan sekarang banyak orang naik pesawat menggunakan sandal jepit, atau sepatu proyek, dan semacamnya. Satu hal yang baru dijumpai yang sebelumnya jarang dijumpai penumpang dengan aksesories seperti itu.

Rata-rata sekitar sebulan dua kali saya bepergian dengan pesawat, dan memang benar apa yang disampaikan pramugari itu. Banyak penumpang dengan kondisi yang “tidak umum” untuk penumpang pesawat bermunculan. Analisis saya mengarahkan kepada dua kemungkinan, tiket pesawat yang memang murah atau daya beli masyarakat secara umum memang meningkat. Namun fenomena penumpang baru bisa menjadi indikator masyarakat Indonesia pada umumnya.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, sebagian besar penumpang pesawat berpakaian necis, tidy, dan lumaya fashinable, tidak peduli kelas airline yang digunakan (dan memang belum cukup banyak). Kalau kita perbandingkan dua kondisi tersebut, kita bisa melihat perubahan masyarakat baik secara ekonomi, budaya dan adaptasi mereka terhadap perubahan. Cukup menarik ternyata memperhatikan fenomena tersebut. Akan sangat menarik bila kita bisa mendengar kajian dari sosiolog mengenai hal ini.

Kembali ke punpang di sebelah saya, kalau hanya soal naik pesawat bertelanjang kaki, itu bukan soal yang sungguh-sungguh penting. Ada satu yang menggelitik adalah persoalan ketika kecepatan perubahan teknologi tidak bisa diimbangi oleh kecepatan adaptasi budaya. Kita bisa melihat dengan mudah kegagapan budaya pada kasus pengendara sepeda motor yang melaju sambil membaca atau berkirim pesan pendek (sms), pemuda di bawah umur membawa mobil aau motor, penumpang bus yang minta diturunkan semaunya, menggunakan jaringan sosial di dunia maya tanpa kontrol, dan contoh lainnyayang masih banyk. Belum lagi kegagapan budaya para pemimpin yang gagap berdemokrasi ditandai dengan perilaku yang tidak memahami makna keterpilihan dan jumlah suara dalam suatu pemilu.

Akhirnya saya khawatir selamanya kita, Indonesia, akan selalu gagap dan tertinggal dalam beradaptasi dengan perubahan. Perubahan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan. Pertanyaannya, bagaimana kita mempersiapkan generasi yang bisa cukup cepat beradaptasi dengan perubahan sehingga tidak selalu tertinggal dan gagap?

Salam,

Ashar

Pada tahun 2009-2010 penulis ikut serta dalam proses perencanaan dan pengawasan kegiatan retrofitting pada Gedung Sekoloah SDN Margoyasan dan SDN Ngupasan, Kota Yogyakarta. Beberapa aspek menarik yang muncul dari kegiatan tersebut akan coba diulas pada tulisan singkat ini.

Sebagai pengantar tulisan, deskripsi kedua bangunan tersebut kurang lebih sebagai berikut. SD Margoyasan terletak di Jalan Tamansiswa Yogyakarta, tepatnya di sebelah utara Komplek Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta. SD ini dibangun pada tahun 1903, dibuat dengan struktur utama dari kayu jati. Menurut informasi dari BP3 (Balai Pengelolaan Peninggalan Purbakala??), pada saat dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak pribumi yang orang tuanya bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda.

Bersambung….

saputra on March 18th, 2012

Lingkungan Indonesia, secara geografis, geologis, dan klimatologis ternyata memberikan potensi kejadian bencana dengan peluang yang tinggi. Bahaya gempa bumi, cuaca ekstrim, dikombinasikan dengan daerah yang bergunung dan berbukit adalah gambaran potensi bahaya (hazard) yang tinggi. Sementara di pihak lain ternyata selain bahaya yang besar juga kerentanan (vulnerability) yang ada pada wilayah Indonesia juga tinggi. Dari berbagai sumber bahaya, pembicaraan kali ini akan dibatasi pada bahaya gempa bumi saja.

Berbicara mengenai mitigasi, di awal harus dipahami terlebih dahulu megenai beberapa istilah yang akan sering mucul. Bencana akan melibatkan dua hal, pertama adalah adanya bahaya/ancaman (hazard) dan berikutnya adalah adanya kerentanan (vulnerability).

Bahaya adalah kondisi yang berpeluang memberikan resiko bencana yang berasal dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau membahayakan. Wilayah Indonesia yang rawan mengalami kejadian gempa akan termasuk wilayah dengan bahaya/ancaman (kadang disebut dengan resiko) gempa yang tinggi.

Di sisi lain, kondisi bangunan, terutama bangunan rumah tinggal tembokan sederhana, yang dibangun tidak dengan mengikuti kaidah teknis bangunan agar lebih aman selama mengalami kejadian gempa, akan menentukan kondisi dari kerentanan (vulnerability).

Bagi para penggiat mitigasi, resiko bencana biasanya diformulasikan dalam persamaan R= (H*V)/C, dimana R = risk/resiko bencana; H = hazard/ancaman; V = vulnerability/kerentanan; C = capacity/kapasitas mitigasi.R akan berbanding lurus dengan C dan H, dan berbanding terbalik dengan C.

Hubungan di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa resiko bencana akan meningkat bila tingkat bahaya (hazard) juga tinggi, resiko bencana juga akan meningkat bila tingkat kerentanan (vulnerability) juga tinggi. Resiko bencana bisa diturunkan bila kapasitas mitigasi (ketahanan, kesiap-siagaan) bencana dari masyarakat meningkat.

Untuk persoalan terkait dengan gempa bumi, sampai saat ini, kemampuan manusia melalui ilmu dan teknologinya belum mengurangi tingkat hazard dari gempa bumi. Sejauh ini belum ditemukan misalnya metode untuk mengetahui kapan, dimana, dan besaran/magnitude gempa dengan akurasi yang bisa diterima secara ilmiah. Atau lebih jauh, ilmu dan pengetahuan manusia belum mampu untuk bisa melepaskan energi gempa tanpa memberikan dampak goncangan di permukaan bumi yang membahayakan.

Maka untuk mengurangi resiko bencana, saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sederhan dan bukan pekerjaan yang mudah, karena melibatkan aspek sosial, budaya, dan teknis secara simultan.

Aspek sosial yang harus dikerjakan adalah membangun kesadaran bahwa wilayah Indonesia dimana kita  tinggal adalah wilayah dengan ancaman gempa yang tinggi. Sadar dengan kondisi lingkungan akan membuat kita lebih waspada dengan resiko yang dihadapi. Dengan kesadaran yang baik akan mempermudah  usaha-usaha untuk meningkatkan kewaspadaan akan resiko bencana.

Terkait dengan aspek teknis, sekarang ini ada tantangan besar yang harus dihadapi untuk menurunkan tingkat kerentanan terutama dari bangunan tembokan sederhana. Kondisi tersebut adalah banyaknya rumah tinggal tembokan sederhana yang dibangun tidak sesuai dengan persyaratan agar bangunan lebih aman menghadapi kejadian gempa.

Penulis memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di bangunan rumah tembokan sederhana jumlahnya mencapai 60-70% dari total jumlah penduduk. Jika bangunan tembokan sederhana tersebut tidak memenui standar teknis keamanan terhadap gempa, maka artinya tingkat kerentanan kejadian bencana menjadi sangat tinggi.

Pengertian bangunan tembokan sederhana adalah bangunan yang dalam proses perencanaan maupun pembangunannya tidak melibatkan ahli teknis bangunan, namun hanya melibatkan tenaga tukang yang tidak terlatih. Proses perencanaan dilakukan dengan cara yang sederhana, dan proses pembangunannya hanya mendasarkan kepada kebiasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tukan tanpa didasarai pertimbangan-pertimbangan teknis yang baik.

Untuk meningkatkan kesadaran mitigasi bencana -terutama diakibatkan kejadian gempa- ada dua pekerjaan besar yang harus dilaksanakan. Pertama adalah memberikan pemahaman dan pelatihan kepada para pelaksana pembangunan rumah tembokan sederhana (developer, tukang) agar mampu membangun bangunan rumah yang lebih aman dalam menghadapi kejadian gempa. Pada lingkup ini diperlukan pula semacam panduan praktis yang bisa diikuti oleh tukang sehingga bisa menjadi panduan di lapangan.

Pada saat ini sudah tesedia panduan praktis membangun rumah tembokan yang disusun oleh para penggiat mitigasi bencana, dan diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan bantuan dari JICA. Buku panduan praktis tersebut bisa diperbanyak, tidak untuk diperjualbelikan dengan catatan tidak boleh mengubah atau menambah gambar-gambar yang ada pada buku panduan tersebut (tautan buku panduan ada disini dan disini).

Yang kedua, adalah perlunya memperkuat (strengthening) bangunan tembokan sederhana yang sudah terbangun namun belum memenuhi persyaratan teknis bangunan sederhana yang lebih aman menghadapi gempa. Kegiatan  ini kadang pula disebut dengan istilah retrofitting (repair, restore, strengthening). Saat ini sebenarnya sudah ada pedoman retrofitting, yang diterbitkan oleh beberapa pakar bangunan. Selanjutnya buku-buku panduan yang sudah ada disempurnakan dengan memasukkan best practices dari para pakar.

Berikutnya selain aspek teknis, harus pula digiatkan aspek non teknis yang harus dikerjakan, yaitu sosialisasi dan pelatihan hala-hal yang sudah termuat pada buku-buku petnjuk praktis tersebut. Juga harus ditingkatkan pelatihan evakuasi, penyusuan skenario evakuasi dan penanganan pada saat terjadi gempa. Model sosialisasi dan pelatihan dengan melibatkan organisasi formal maupun nonformal harus digalakkan dengan pengarahan atau bimbingan dari para ahli yang kompeten.

Usaha mitigasi yang efektif antara lain dapat dilakukan dengan mengintegrasikan program-program mitigasi dengan dunia pendidikan. Mungkin tidak harus dengan memasukkannya ke dalam kurikulum, namun bisa menjadi kegiatan ekstra kurikuler. Pelatihan mitigasi bencana harus dimulai sejak dini kepada peserta didik, sehingga mtigasi bencana akan menjadi bagian kehidupannya.

Ketiga hal tersebut, -sosialisasi dan pelatihan pembangunan dan perkuatan, penyusunan skenario penanggulangan dan penanganan pada saat gempa, serta pendidikan mitigasi bencana, masih menjadi titik lemah pada usaha peningkatan kapasitas mitigasi bencana. Semua elemen masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi ketiga hal tersebut sudah selayaknya memberikan kontribusinya sehigga kapasitas mitigasi bencana dapat senantiasa ditingkatkan. Dunia pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi memegang peranan yang vital dalam usaha ini, sehingga sudah semestinya dunia pendidikan memberikan perhatian yang lebih banyak.
**

Pemanfaatan bambu saat semakin populer dan kebutuhannya semakin luas. Mulai dari bangunan sederhana sampai bangunan yang rumit dan “tidak umum”. Tantangan bagi insinyur sipil adalah bagaiman bisa dilakukan analisis, desain, dan pelaksanaanya agar memenuhi kaidah kekuatan, keamanan, estetika, dan ekonomi.

Analisis struktur dengan material bambu, terutama pada bangunan dengan bentuk dan dimensi yang tidak umum akan memberikan tantangan baru kepada para insinyur sipil. Dalam pengamatan kami, arsitek yang memahami sifat-sifat alami bambu akan menghasilkan desain yang tidak memotong bambu dalam ukuran yang pendek-pendek. Bambu mempunyai bentuk alami yang memanjang tubular, maka desain dengan struktur yang mengakomodasi kondisi ini akan menguntungkan. Jika bambu dipotong pendek-pendek akan memberikan konsekuensi  menambah ongkos pemotongan, menambah titik sambungan dan mengurangi nilai estetis bambu. Di sisi lain, dengan semakin banyaknya sambungan, maka resiko perlemahan struktur di titik sambungan juga akan semakin besar.

Pada gambar-gambar berikut adalah beberapa contoh bangunan dengan desain yang mampu mengakomodasikan sifat-sifat keunggulan alami bambu, dan gambar proses analisis strukturnya.

Bambu memili sifat yang khas, baik sifat fisik maupun sifat mekaniknya. Sifat mekanik yang sangat unggul adalah kuat tariknya yang kuat, rata-rata bisa mencapai 200 MPa. Sifat mekanik yang baik lainnya adalah kuat tekan tegak lurus sekitar 40-60 MPa. Sementara tantangan yang harus dipecahkan lebih lanjut terkait dengan modulus elastisitasnya yang relatif rendah, dan kuat geser sejajar serat yang rendah.

Pada saat ini, sudah mulai berkembang desain arsitektural yang tidak menganut pola simetrical atau kubical. Bentuk daun, kapal, dome, gunungan, dll (lihat www.greenschool.org). Bentuk-bentuk seperti itu, terlebih dibangun dengan bambu akan memberikan tantangan bagi insinyur sipil untuk menghitung, mendesain, memberikan rekomendasi metode konstruksinya.

Di sisi lain, sampai saat ini belum ada aturan (code) yang secara spesifik memberikan panduan pembangunan struktur dari bambu. Berbeda dengan bahan beton, baja, dan kayu yang sudah punya panduan, perhitungan dan desain bangunan bambu masih perlu banyak usaha untuk bisa menghadirkan aturan/standar yang bisa dijadikan pegangan. Namun demikian bukan berarti tidak boleh ada bangunan bambu yang didirikan. Sejauh sudah direncanakan oleh insinyur atau craftmen yang benar-benar memahami karakteristik bambu, maka banguan bambu dapat didirkan dan berfungsi dengan baik.

Dengan informasi seperti tersebut di atas, analisis struktur dan desain bangunan dari bambu benar-benar menjadi tantangan baru bagi insinyur sipil dan di sisi lain bisa menjadi peluang pengembangan pemanfaatan bambu di masa yang akan datang.

Indonesia menghadapi tiga persoalan simultan terkait dengan penyediaan infrastruktur dan linkungan. Permasalah tersebut adalah sampah non-organik non-degradable, kerusakan lahan untuk bertanam, dan resiko gempa. Masing-masing permasalahan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Di Indonesia, sampah non-organik non-degradable yang belum  didaur ulang adalah polystyrene atau biasa dikenal dengan styrofoam. Bila kita mengunjungi tempat pembuangan akhir sampah, maka akan terlihat tumpukan polystyrene yang teronggok diabaikan dan tidak dimanfaatkan. Di negara maju, proses daur ulang menjadi pasta dan perubahan bentuk yang lain sudah dilaksanakan dan secara ekonomis menguntungkan. Namun tidak demikian di Indonesia, proses daur ulang tersebut secara ekonomis belum memungkinkan. Dengan banyaknya produk elektronik yang dijual di dikonsumsi, maka produksi sampah plystyrene akan semakin menggunung.

Bersambung…..