Salam,

Untuk kesekian kalinya saya mengunjungi Palangkaraya. Jadwal dan rute penerbangan tidak banyak memberik pilihan kepada saya sehingga 80% perjalanan menggunakan budget airline. Namun dengan menggunakan penerbangan budget air justru saya bisa mengamati Indonesia dari orang-oranga yang bepergian.

Penerbangan terakhir dari Palangkaraya menuju Jakarta memberikan peristiwa menarik. Saya duduk di seat 21 F di emergency seat favorite saya. Di sebelah saya (21E) duduk seorang pria usia 40-an tahun, sementara di 21D dan 21 C dua orang asing. Pada saat pertama datang, pria di sebelah saya salah ambil tempat duduk di depannya, dan bagi saya cukup wajar mengingat beberapa kali saya sendiri keliru menempati tempat duduk. Setelah ada penumpuang yang nomernya tepat datang, pria yang seharusnya duduk di sebelah saya mengecek kemabli nomornya dan tahu dia sudah salah duduk.

Setelah pria itu duduk di sebelah saya, beberapa saat kemudian saya menyadari kalau dia bertelanjang kaki. Benar-benar nyeker, sendal jepit pun tidak. Selama di pesawat, mungkin karena kedinginan, dia mengangkat kakinya yang nyeker itu ke atas tempat duduk. Sebuah pengalaman yang baru pertama kali saya jumpai.

Keitka antri untuk turun pesawat, saya berdiri di depan kedua orang asing itu dan kembali saya nguping pembicaraan mereka dalam bahasa Inggris. Penumpang yang duduk di 21D berkata kepada penumpang 21C, bahwa orang di sebelahnya tidak memakai alas kaki sama sekali, dan dia sangat heran. “What happen with him?”, sepotong kebingunan mereka tertangkap di kepala saya.

Pertanyaan yang sama sesungguhnya juga berkecamuk di kepala saya selama penerbangan dan itulah yang membuat saya tertarik menuangkan di sini. Selama perjalanan, saya mengira-ira di adalah pekerja bangunan yang akan beerlibur kembali ke Jawa setelah sekian lama merantau di kalimantan. Selepas 20 Desember memang pekerjaan konstruksi sudah banyak yang berhenti, untuk kemudian akan bergeliat kembali di awal tahun.

Kebingunan orang asing yang melihat fenomena itu memicu saya berpikir lebih lanjut, sesungguhnya pria itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Setahu saya tidak ada keharusan naik pesawat harus beralas kaki. Saya bahkan ingat ada sekelompok orang yang fanatik untuk ber-barefoot dalam keseharian mereka. Saya yakin tidak ada yang salah dengan seseorang naik pesawat tidak beralas kaki.

Saya jadi ingat penerbangan sebelumnya dan saya duduk di emergency seat 31E yang berhadapan dengan tempat duduk pramugari.  Dalam penerbangan malam itu pramugari pria bercerita pengalamannya menjumpai banyak penumpang “aneh” yang naik pesawat. Saya tanya anehnya bagaimana? Pramugari tersebut mengatakan sekarang banyak orang naik pesawat menggunakan sandal jepit, atau sepatu proyek, dan semacamnya. Satu hal yang baru dijumpai yang sebelumnya jarang dijumpai penumpang dengan aksesories seperti itu.

Rata-rata sekitar sebulan dua kali saya bepergian dengan pesawat, dan memang benar apa yang disampaikan pramugari itu. Banyak penumpang dengan kondisi yang “tidak umum” untuk penumpang pesawat bermunculan. Analisis saya mengarahkan kepada dua kemungkinan, tiket pesawat yang memang murah atau daya beli masyarakat secara umum memang meningkat. Namun fenomena penumpang baru bisa menjadi indikator masyarakat Indonesia pada umumnya.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, sebagian besar penumpang pesawat berpakaian necis, tidy, dan lumaya fashinable, tidak peduli kelas airline yang digunakan (dan memang belum cukup banyak). Kalau kita perbandingkan dua kondisi tersebut, kita bisa melihat perubahan masyarakat baik secara ekonomi, budaya dan adaptasi mereka terhadap perubahan. Cukup menarik ternyata memperhatikan fenomena tersebut. Akan sangat menarik bila kita bisa mendengar kajian dari sosiolog mengenai hal ini.

Kembali ke punpang di sebelah saya, kalau hanya soal naik pesawat bertelanjang kaki, itu bukan soal yang sungguh-sungguh penting. Ada satu yang menggelitik adalah persoalan ketika kecepatan perubahan teknologi tidak bisa diimbangi oleh kecepatan adaptasi budaya. Kita bisa melihat dengan mudah kegagapan budaya pada kasus pengendara sepeda motor yang melaju sambil membaca atau berkirim pesan pendek (sms), pemuda di bawah umur membawa mobil aau motor, penumpang bus yang minta diturunkan semaunya, menggunakan jaringan sosial di dunia maya tanpa kontrol, dan contoh lainnyayang masih banyk. Belum lagi kegagapan budaya para pemimpin yang gagap berdemokrasi ditandai dengan perilaku yang tidak memahami makna keterpilihan dan jumlah suara dalam suatu pemilu.

Akhirnya saya khawatir selamanya kita, Indonesia, akan selalu gagap dan tertinggal dalam beradaptasi dengan perubahan. Perubahan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan. Pertanyaannya, bagaimana kita mempersiapkan generasi yang bisa cukup cepat beradaptasi dengan perubahan sehingga tidak selalu tertinggal dan gagap?

Salam,

Ashar