Salah satu kendala peningkatan kesejahteraan ekonomi di Indonesia adalah bidang infrastruktur. Persoalan yang sudah disorot cukup lama adalah kondisi infrastruktur jalan yang rusak. Seorang profesor bidang teknik lalu lintas mengatakan: “bukan jalan yang berlubang, tapi lubang yang berjalan”.

Selain infrastruktur jalan, yang berikutnya adalah buruknya kualitas bangunan gedung dan perumahan. Bangunan publik milik pemerintah biasanya berada pada urutan awal dengan kondisi yang tidak prima. Gedung yang temboknya mulai retak pada umur bangunan yang masih pendek, genteng yang bocor, cat yang mengelupas, biasanya menjadi keluhan yang mudah dijumpai. Belum lagi tentang berita di media masa yang sering sekali memuat bangunan sekolah, -terutama SD-,  yang atapnya jebol atau bangunannya sudah memprihatinkan.

Sorotan terbaru adalah runtuhnya beberapa jembatan, mulai jembatan yang besar dan rumit seperti Jembatan Kutai Kartanegara sampai dengan  jembatan penyeberangan sungai dengan struktur kabel gantung dan jembatan bambu di daerah Jawa Barat.

Evaluasi menyeluruh terhadap kondisi tersebut tentu akan menghadirkan  banyak analisis penyebab kerusakan. Pada tulisan singkat ini kita bahas satu saja aspek yang mungkin bisa menjadi alasan utama, yaitu aspek kebanggan terhadap profesi insinyur. Siapapun yang terlibat pada penyediaan infrastruktur, baik dari kalangan pemerintahan, perencana, pelaksana, pengawas, maupun pihak lain yang semestinya mempunyai latar belakang pendidikan teknik mempunyai kebanggaan dengan profesi insinyur.

Seorang insinyur yang bangga dengan profesinya, dimanapun posisinya, akan bekerja dengan sepenuh hati, dengan passion, sehingga dia dengan segenap kemampuan dan semangat akan berusaha menghasilkan karya keinsinyuran yang terbaik.

Tantangan kondisi saat ini profesi insinyur sipil kurang diminati bila dibandingkan dengan bidang teknologi inoformasi, energi, kedokteran, dan robotika. Secara sederhana, ada kemungkinan bahwa antara tingkat kesulitan yang harus dihadapi, resiko dan tanggung jawab, serta besarnya penghasilan dari profesi insinyur sipil membuat orang tidak menjadinkan insinyur sipil sebagai pilihan pertama profesinya.

Mahasiswa teknik sipil tentunya sudah mengenal salah satu hukum bangunan tertua, yang dikenal dengan Code Hammurabi atau Aturan Hammurabi. Aturan yang dikeluarkan oleh Raja Hammurabi, yang mungkin saja menjadi teks perundang-undangan tertua (dibuat pada tahun 1750 sebelum Masehi), antara lain menyatakan ” Jika seorang ahli bangunan membangun sebuah rumah dan karena kesalahannya rumah itu runtuh dan menyebabkan pemilik rumah itu meninggal, maka dia harus dihukum mati”.

Bagi insinyur sipil, besarnya tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi terkait profesinya bisa jadi membuat profesi ini kurang menguntungkan. Sering saya menyampaikan kepada mahasiswa di kelas, lihatlah bangunan gedung tinggi yang megah dan indah. Siapa saja yang melhatnya biasanya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada arsiteknya. Namun bila karean satu dan lain hal bangunan gedung tersebut fail dan memakan korban jiwa, yang akan dicari dulu oleh aparat kepolisian adalah insinyur sipilnya.

Pernyataan di atas bukan dimaksudkan untuk mengkontradiksikan atau melebihkan salah satu profesi dengan lainnya, namun lebih untuk menggambarkan suatu tingkat konsekuensi yang bisa saja dihadapi dengan memilih profesi tertentu.

Kembali kepada pesoalan kebanggan profetik tadi, dengan adanya resiko dan tanggung jawab yang demikian besar, mestinya memberikan potensi rasa kebanggaan bagi siapa saja yang mampu menjawab tantangan dan resiko tersebut. Tantangan, resiko, dan tanggung jawab yang besar bila bisa dituntaskan dengan baik, maka akan memberikan rasa kebanggaan yang besar.

Persoalan berikut adalah bagaimana membangun dan mendidik kebanggan terhadap profesi insinyur sipil kepada para mahasiswa di kelas? Kurikulum yang padat dengan teori, tugas, dan praktikum bisa jadi tidak memberikan ruang yang cukup terhadap pengembangan aspek kebanggaan menjadi insinyur.

Permasalahan ini sudah selayaknya dipikirkan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya dari perguruan tinggi, namun juga pihak pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

Bila Indonesia mempunyai banyak insinyur sipil yang mumpuni, maka persoalan infrasturktu bisa ditangani. Proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, operasional dan perawatan akan dikerjakan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Insinyur yang baik akan mengkaitkan kesempurnaan pekerjaannya dengan harga dirinya.

Ashar Saputra