Archive for March, 2012

Kinerja Bangunan Gedung Sekolah, Bercermin pada Bangunan Kolonial

Monday, March 26th, 2012

Pada tahun 2009-2010 penulis ikut serta dalam proses perencanaan dan pengawasan kegiatan retrofitting pada Gedung Sekoloah SDN Margoyasan dan SDN Ngupasan, Kota Yogyakarta. Beberapa aspek menarik yang muncul dari kegiatan tersebut akan coba diulas pada tulisan singkat ini.

Sebagai pengantar tulisan, deskripsi kedua bangunan tersebut kurang lebih sebagai berikut. SD Margoyasan terletak di Jalan Tamansiswa Yogyakarta, tepatnya di sebelah utara Komplek Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta. SD ini dibangun pada tahun 1903, dibuat dengan struktur utama dari kayu jati. Menurut informasi dari BP3 (Balai Pengelolaan Peninggalan Purbakala??), pada saat dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak pribumi yang orang tuanya bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda.

Bersambung….

Meningkatkan Kesadaran dan Kapasitas Mitigasi Bencana

Sunday, March 18th, 2012

Lingkungan Indonesia, secara geografis, geologis, dan klimatologis ternyata memberikan potensi kejadian bencana dengan peluang yang tinggi. Bahaya gempa bumi, cuaca ekstrim, dikombinasikan dengan daerah yang bergunung dan berbukit adalah gambaran potensi bahaya (hazard) yang tinggi. Sementara di pihak lain ternyata selain bahaya yang besar juga kerentanan (vulnerability) yang ada pada wilayah Indonesia juga tinggi. Dari berbagai sumber bahaya, pembicaraan kali ini akan dibatasi pada bahaya gempa bumi saja.

Berbicara mengenai mitigasi, di awal harus dipahami terlebih dahulu megenai beberapa istilah yang akan sering mucul. Bencana akan melibatkan dua hal, pertama adalah adanya bahaya/ancaman (hazard) dan berikutnya adalah adanya kerentanan (vulnerability).

Bahaya adalah kondisi yang berpeluang memberikan resiko bencana yang berasal dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan atau membahayakan. Wilayah Indonesia yang rawan mengalami kejadian gempa akan termasuk wilayah dengan bahaya/ancaman (kadang disebut dengan resiko) gempa yang tinggi.

Di sisi lain, kondisi bangunan, terutama bangunan rumah tinggal tembokan sederhana, yang dibangun tidak dengan mengikuti kaidah teknis bangunan agar lebih aman selama mengalami kejadian gempa, akan menentukan kondisi dari kerentanan (vulnerability).

Bagi para penggiat mitigasi, resiko bencana biasanya diformulasikan dalam persamaan R= (H*V)/C, dimana R = risk/resiko bencana; H = hazard/ancaman; V = vulnerability/kerentanan; C = capacity/kapasitas mitigasi.R akan berbanding lurus dengan C dan H, dan berbanding terbalik dengan C.

Hubungan di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa resiko bencana akan meningkat bila tingkat bahaya (hazard) juga tinggi, resiko bencana juga akan meningkat bila tingkat kerentanan (vulnerability) juga tinggi. Resiko bencana bisa diturunkan bila kapasitas mitigasi (ketahanan, kesiap-siagaan) bencana dari masyarakat meningkat.

Untuk persoalan terkait dengan gempa bumi, sampai saat ini, kemampuan manusia melalui ilmu dan teknologinya belum mengurangi tingkat hazard dari gempa bumi. Sejauh ini belum ditemukan misalnya metode untuk mengetahui kapan, dimana, dan besaran/magnitude gempa dengan akurasi yang bisa diterima secara ilmiah. Atau lebih jauh, ilmu dan pengetahuan manusia belum mampu untuk bisa melepaskan energi gempa tanpa memberikan dampak goncangan di permukaan bumi yang membahayakan.

Maka untuk mengurangi resiko bencana, saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas mitigasi bencana. Pekerjaan ini bukan pekerjaan sederhan dan bukan pekerjaan yang mudah, karena melibatkan aspek sosial, budaya, dan teknis secara simultan.

Aspek sosial yang harus dikerjakan adalah membangun kesadaran bahwa wilayah Indonesia dimana kita  tinggal adalah wilayah dengan ancaman gempa yang tinggi. Sadar dengan kondisi lingkungan akan membuat kita lebih waspada dengan resiko yang dihadapi. Dengan kesadaran yang baik akan mempermudah  usaha-usaha untuk meningkatkan kewaspadaan akan resiko bencana.

Terkait dengan aspek teknis, sekarang ini ada tantangan besar yang harus dihadapi untuk menurunkan tingkat kerentanan terutama dari bangunan tembokan sederhana. Kondisi tersebut adalah banyaknya rumah tinggal tembokan sederhana yang dibangun tidak sesuai dengan persyaratan agar bangunan lebih aman menghadapi kejadian gempa.

Penulis memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di bangunan rumah tembokan sederhana jumlahnya mencapai 60-70% dari total jumlah penduduk. Jika bangunan tembokan sederhana tersebut tidak memenui standar teknis keamanan terhadap gempa, maka artinya tingkat kerentanan kejadian bencana menjadi sangat tinggi.

Pengertian bangunan tembokan sederhana adalah bangunan yang dalam proses perencanaan maupun pembangunannya tidak melibatkan ahli teknis bangunan, namun hanya melibatkan tenaga tukang yang tidak terlatih. Proses perencanaan dilakukan dengan cara yang sederhana, dan proses pembangunannya hanya mendasarkan kepada kebiasan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tukan tanpa didasarai pertimbangan-pertimbangan teknis yang baik.

Untuk meningkatkan kesadaran mitigasi bencana -terutama diakibatkan kejadian gempa- ada dua pekerjaan besar yang harus dilaksanakan. Pertama adalah memberikan pemahaman dan pelatihan kepada para pelaksana pembangunan rumah tembokan sederhana (developer, tukang) agar mampu membangun bangunan rumah yang lebih aman dalam menghadapi kejadian gempa. Pada lingkup ini diperlukan pula semacam panduan praktis yang bisa diikuti oleh tukang sehingga bisa menjadi panduan di lapangan.

Pada saat ini sudah tesedia panduan praktis membangun rumah tembokan yang disusun oleh para penggiat mitigasi bencana, dan diterbitkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dengan bantuan dari JICA. Buku panduan praktis tersebut bisa diperbanyak, tidak untuk diperjualbelikan dengan catatan tidak boleh mengubah atau menambah gambar-gambar yang ada pada buku panduan tersebut (tautan buku panduan ada disini dan disini).

Yang kedua, adalah perlunya memperkuat (strengthening) bangunan tembokan sederhana yang sudah terbangun namun belum memenuhi persyaratan teknis bangunan sederhana yang lebih aman menghadapi gempa. Kegiatan  ini kadang pula disebut dengan istilah retrofitting (repair, restore, strengthening). Saat ini sebenarnya sudah ada pedoman retrofitting, yang diterbitkan oleh beberapa pakar bangunan. Selanjutnya buku-buku panduan yang sudah ada disempurnakan dengan memasukkan best practices dari para pakar.

Berikutnya selain aspek teknis, harus pula digiatkan aspek non teknis yang harus dikerjakan, yaitu sosialisasi dan pelatihan hala-hal yang sudah termuat pada buku-buku petnjuk praktis tersebut. Juga harus ditingkatkan pelatihan evakuasi, penyusuan skenario evakuasi dan penanganan pada saat terjadi gempa. Model sosialisasi dan pelatihan dengan melibatkan organisasi formal maupun nonformal harus digalakkan dengan pengarahan atau bimbingan dari para ahli yang kompeten.

Usaha mitigasi yang efektif antara lain dapat dilakukan dengan mengintegrasikan program-program mitigasi dengan dunia pendidikan. Mungkin tidak harus dengan memasukkannya ke dalam kurikulum, namun bisa menjadi kegiatan ekstra kurikuler. Pelatihan mitigasi bencana harus dimulai sejak dini kepada peserta didik, sehingga mtigasi bencana akan menjadi bagian kehidupannya.

Ketiga hal tersebut, -sosialisasi dan pelatihan pembangunan dan perkuatan, penyusunan skenario penanggulangan dan penanganan pada saat gempa, serta pendidikan mitigasi bencana, masih menjadi titik lemah pada usaha peningkatan kapasitas mitigasi bencana. Semua elemen masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kondisi ketiga hal tersebut sudah selayaknya memberikan kontribusinya sehigga kapasitas mitigasi bencana dapat senantiasa ditingkatkan. Dunia pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi memegang peranan yang vital dalam usaha ini, sehingga sudah semestinya dunia pendidikan memberikan perhatian yang lebih banyak.
**

Analisis Struktur untuk Bangunan yang Dibuat Dari Bahan Organik

Tuesday, March 6th, 2012

Pemanfaatan bambu saat semakin populer dan kebutuhannya semakin luas. Mulai dari bangunan sederhana sampai bangunan yang rumit dan “tidak umum”. Tantangan bagi insinyur sipil adalah bagaiman bisa dilakukan analisis, desain, dan pelaksanaanya agar memenuhi kaidah kekuatan, keamanan, estetika, dan ekonomi.

Analisis struktur dengan material bambu, terutama pada bangunan dengan bentuk dan dimensi yang tidak umum akan memberikan tantangan baru kepada para insinyur sipil. Dalam pengamatan kami, arsitek yang memahami sifat-sifat alami bambu akan menghasilkan desain yang tidak memotong bambu dalam ukuran yang pendek-pendek. Bambu mempunyai bentuk alami yang memanjang tubular, maka desain dengan struktur yang mengakomodasi kondisi ini akan menguntungkan. Jika bambu dipotong pendek-pendek akan memberikan konsekuensi  menambah ongkos pemotongan, menambah titik sambungan dan mengurangi nilai estetis bambu. Di sisi lain, dengan semakin banyaknya sambungan, maka resiko perlemahan struktur di titik sambungan juga akan semakin besar.

Pada gambar-gambar berikut adalah beberapa contoh bangunan dengan desain yang mampu mengakomodasikan sifat-sifat keunggulan alami bambu, dan gambar proses analisis strukturnya.

Bambu memili sifat yang khas, baik sifat fisik maupun sifat mekaniknya. Sifat mekanik yang sangat unggul adalah kuat tariknya yang kuat, rata-rata bisa mencapai 200 MPa. Sifat mekanik yang baik lainnya adalah kuat tekan tegak lurus sekitar 40-60 MPa. Sementara tantangan yang harus dipecahkan lebih lanjut terkait dengan modulus elastisitasnya yang relatif rendah, dan kuat geser sejajar serat yang rendah.

Pada saat ini, sudah mulai berkembang desain arsitektural yang tidak menganut pola simetrical atau kubical. Bentuk daun, kapal, dome, gunungan, dll (lihat www.greenschool.org). Bentuk-bentuk seperti itu, terlebih dibangun dengan bambu akan memberikan tantangan bagi insinyur sipil untuk menghitung, mendesain, memberikan rekomendasi metode konstruksinya.

Di sisi lain, sampai saat ini belum ada aturan (code) yang secara spesifik memberikan panduan pembangunan struktur dari bambu. Berbeda dengan bahan beton, baja, dan kayu yang sudah punya panduan, perhitungan dan desain bangunan bambu masih perlu banyak usaha untuk bisa menghadirkan aturan/standar yang bisa dijadikan pegangan. Namun demikian bukan berarti tidak boleh ada bangunan bambu yang didirikan. Sejauh sudah direncanakan oleh insinyur atau craftmen yang benar-benar memahami karakteristik bambu, maka banguan bambu dapat didirkan dan berfungsi dengan baik.

Dengan informasi seperti tersebut di atas, analisis struktur dan desain bangunan dari bambu benar-benar menjadi tantangan baru bagi insinyur sipil dan di sisi lain bisa menjadi peluang pengembangan pemanfaatan bambu di masa yang akan datang.

Material Alternatif untuk Solusi Permasalahan Lingkungan

Tuesday, March 6th, 2012

Indonesia menghadapi tiga persoalan simultan terkait dengan penyediaan infrastruktur dan linkungan. Permasalah tersebut adalah sampah non-organik non-degradable, kerusakan lahan untuk bertanam, dan resiko gempa. Masing-masing permasalahan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

Di Indonesia, sampah non-organik non-degradable yang belum  didaur ulang adalah polystyrene atau biasa dikenal dengan styrofoam. Bila kita mengunjungi tempat pembuangan akhir sampah, maka akan terlihat tumpukan polystyrene yang teronggok diabaikan dan tidak dimanfaatkan. Di negara maju, proses daur ulang menjadi pasta dan perubahan bentuk yang lain sudah dilaksanakan dan secara ekonomis menguntungkan. Namun tidak demikian di Indonesia, proses daur ulang tersebut secara ekonomis belum memungkinkan. Dengan banyaknya produk elektronik yang dijual di dikonsumsi, maka produksi sampah plystyrene akan semakin menggunung.

Bersambung…..

Kuliah Semester II 2011/2012

Tuesday, March 6th, 2012
  1. Analisis Struktur Statis Taktentu (S1)
  2. Pendidikan Agama Islam (S1)
  3. Struktur Beton Bertulang I (S1)
  4. Metode Penelitian, Teknik Penulisan dan Presentasi (S1)
  5. Struktur Tahan Gempa (S2)
  6. Metode Penelitian (S2)
  7. Struktur Bambu (s2)
  8. Manajemen Mutu (s2)

Membangun Kebanggan Profesi Insinyur

Tuesday, March 6th, 2012

Salah satu kendala peningkatan kesejahteraan ekonomi di Indonesia adalah bidang infrastruktur. Persoalan yang sudah disorot cukup lama adalah kondisi infrastruktur jalan yang rusak. Seorang profesor bidang teknik lalu lintas mengatakan: “bukan jalan yang berlubang, tapi lubang yang berjalan”.

Selain infrastruktur jalan, yang berikutnya adalah buruknya kualitas bangunan gedung dan perumahan. Bangunan publik milik pemerintah biasanya berada pada urutan awal dengan kondisi yang tidak prima. Gedung yang temboknya mulai retak pada umur bangunan yang masih pendek, genteng yang bocor, cat yang mengelupas, biasanya menjadi keluhan yang mudah dijumpai. Belum lagi tentang berita di media masa yang sering sekali memuat bangunan sekolah, -terutama SD-,  yang atapnya jebol atau bangunannya sudah memprihatinkan.

Sorotan terbaru adalah runtuhnya beberapa jembatan, mulai jembatan yang besar dan rumit seperti Jembatan Kutai Kartanegara sampai dengan  jembatan penyeberangan sungai dengan struktur kabel gantung dan jembatan bambu di daerah Jawa Barat.

Evaluasi menyeluruh terhadap kondisi tersebut tentu akan menghadirkan  banyak analisis penyebab kerusakan. Pada tulisan singkat ini kita bahas satu saja aspek yang mungkin bisa menjadi alasan utama, yaitu aspek kebanggan terhadap profesi insinyur. Siapapun yang terlibat pada penyediaan infrastruktur, baik dari kalangan pemerintahan, perencana, pelaksana, pengawas, maupun pihak lain yang semestinya mempunyai latar belakang pendidikan teknik mempunyai kebanggaan dengan profesi insinyur.

Seorang insinyur yang bangga dengan profesinya, dimanapun posisinya, akan bekerja dengan sepenuh hati, dengan passion, sehingga dia dengan segenap kemampuan dan semangat akan berusaha menghasilkan karya keinsinyuran yang terbaik.

Tantangan kondisi saat ini profesi insinyur sipil kurang diminati bila dibandingkan dengan bidang teknologi inoformasi, energi, kedokteran, dan robotika. Secara sederhana, ada kemungkinan bahwa antara tingkat kesulitan yang harus dihadapi, resiko dan tanggung jawab, serta besarnya penghasilan dari profesi insinyur sipil membuat orang tidak menjadinkan insinyur sipil sebagai pilihan pertama profesinya.

Mahasiswa teknik sipil tentunya sudah mengenal salah satu hukum bangunan tertua, yang dikenal dengan Code Hammurabi atau Aturan Hammurabi. Aturan yang dikeluarkan oleh Raja Hammurabi, yang mungkin saja menjadi teks perundang-undangan tertua (dibuat pada tahun 1750 sebelum Masehi), antara lain menyatakan ” Jika seorang ahli bangunan membangun sebuah rumah dan karena kesalahannya rumah itu runtuh dan menyebabkan pemilik rumah itu meninggal, maka dia harus dihukum mati”.

Bagi insinyur sipil, besarnya tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi terkait profesinya bisa jadi membuat profesi ini kurang menguntungkan. Sering saya menyampaikan kepada mahasiswa di kelas, lihatlah bangunan gedung tinggi yang megah dan indah. Siapa saja yang melhatnya biasanya akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada arsiteknya. Namun bila karean satu dan lain hal bangunan gedung tersebut fail dan memakan korban jiwa, yang akan dicari dulu oleh aparat kepolisian adalah insinyur sipilnya.

Pernyataan di atas bukan dimaksudkan untuk mengkontradiksikan atau melebihkan salah satu profesi dengan lainnya, namun lebih untuk menggambarkan suatu tingkat konsekuensi yang bisa saja dihadapi dengan memilih profesi tertentu.

Kembali kepada pesoalan kebanggan profetik tadi, dengan adanya resiko dan tanggung jawab yang demikian besar, mestinya memberikan potensi rasa kebanggaan bagi siapa saja yang mampu menjawab tantangan dan resiko tersebut. Tantangan, resiko, dan tanggung jawab yang besar bila bisa dituntaskan dengan baik, maka akan memberikan rasa kebanggaan yang besar.

Persoalan berikut adalah bagaimana membangun dan mendidik kebanggan terhadap profesi insinyur sipil kepada para mahasiswa di kelas? Kurikulum yang padat dengan teori, tugas, dan praktikum bisa jadi tidak memberikan ruang yang cukup terhadap pengembangan aspek kebanggaan menjadi insinyur.

Permasalahan ini sudah selayaknya dipikirkan bersama oleh berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya dari perguruan tinggi, namun juga pihak pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

Bila Indonesia mempunyai banyak insinyur sipil yang mumpuni, maka persoalan infrasturktu bisa ditangani. Proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, operasional dan perawatan akan dikerjakan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Insinyur yang baik akan mengkaitkan kesempurnaan pekerjaannya dengan harga dirinya.

Ashar Saputra

Selamat Datang

Tuesday, March 6th, 2012

Selamat datang di blog ini.

Blog ini dibuat untuk menampilkan beberapa dokumentasi kegiatan dan catatan yang terlintas di fikiran saya. Mungkin hanya berisi sesuatu yang tidak penting, tapi juga sayang kalau dibiarkan hilang. Semoga bisa memberi manfaat bagi siapa saja yang mengunjungi blog ini. Terima kasih.

Salam